24 April 2017

Perkawinan Militer-Fasis Agama, Kekerasan Seksual Sebagai Pesan Politik, Dan Grand Design ala Amrik


Dalam percakapan pagi ini, seorang kawan mengutip satu kalimat menarik dari sebuah film. Percakapan antara komandan dan prajurit: “…setinggi-tingginya karir militer, kita ini akhirnya hanyalah satpam (baca: CENTENG) perusahaan (baca: para kapitalis)”.


------------------


Belakangan ini kita dihebohkan dengan hasil pilkada DKI yang merobek banyak pertalian. Anyir politisasi agama dan bangkitnya kaum radikal agama, tiba-tiba menjadi begitu masif dan menakutkan. Korban sudah berjatuhan dan sayangnya lebih dianggap sebagai bagian dari dinamika politik. Kita meremehkan para perempuan yang menangisi kekalahan simbol perlawanan. Perempuan, kaum yang paling ditindas dan dipinggirkan kehadirannya dalam kontestasi politik yang menghasilkan konflik horizontal serius, dan pasti akan berkepanjangan. Bentuk penindasan dan kekerasan terhadap perempuan yang paling sadis dan menakutkan dalam konflik akibat kontestasi politik adalah, kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Mulai dari pelecehan hingga pembunuhan. Di berbagai belahan dunia, kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, adalah senjata ampuh yang dipakai mereka yang berperang, atau beradu secara politis untuk menundukkan lawan. Menguasai tubuh perempuan adalah tonggak kemenangan. Mengoyak-ngoyak tubuh perempuan adalah penghancuran harkat dan martabat lawan. Pesan politik kejam kepada siapapun, yang dianggap berani melawan.

Kesaksian banyak penyintas dari seluruh belahan dunia, kekerasan seksual dalam konflik dan kontestasi politik, umumnya dilakukan oleh para fasis; kelompok-kelompok dengan basis militer, kelompok-kelompok radikal berbasis agama, dan kelompok-kelompok fasis lain. Baik dalam bentuk intimidasi atau ancaman maupun serangan langsung. Atas nama Tuhan yang marah versi para hipokrit atau patriotisme versi para militer.
Penyerangan seksual yang dilakukan pun memuat pesan-pesan pembersihan baik etnis, agama, maupun lawan ideologis lainnya. Kita sebut saja penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah dan Afrika Utara, Boko Haram di Nigeria, dan Lord Resistance Army (kelompok radikal Kristen) di Uganda. Ini tiga kelompok yang berdasarkan kisah-kisah para penyintas dan pengerja kemanusiaan, sangat parah melakukan  penyerangan seksual sebagai pesan politik. Tak jarang mereka melakukan penyiksaan seksual seperti yang biasa dilakukan umumnya oleh kelompok-kelompok radikalis kejam, yakni dengan memotong puting susu dan membunuh perempuan hamil, atau memperkosa korban dengan benda keras setelah memperkosanya ramai-ramai. Femisida, demikian penindasan dan penundukkan yang disertai kekejaman ini lahir. Kengerian global yang terjadi dalam situasi konflik, apalagi dengan makin bangkitnya kekuatan kanan di hamper seluruh dunia.

Dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual sebagai senjata penundukkan dan pesan politik sadis telah dilakukan sejak peristiwa G30S 1965 kepada kelompok perempuan progresif dan kerusuhan Mei 1998 pada etnis Tionghoa. Dua kelompok perempuan simbol perlawanan sekaligus simbol kerentanan. Dua kelompok perempuan ini merupakan sasaran utama mereka yang merasa insecure perannya disaingi. Peran ekonomi dan peran sosial. Penyiksaan dan penyerangan seksual dilakukan pada mereka untuk memberi pesan politik pada lawan: inilah yang terjadi atas nama kecemburuan sosial, bila berani berdiri di atas kebenaran, dan berani melawan oligarki.
Yang paling anyar adalah maraknya ancaman pemerkosaan di masa pilkada DKI Jakarta yang lalu. Para pelaku jelas melihat model intimidasi di peristiwa sebelumnya, yakni kerusuhan Mei 1998. Bedanya, penyerangan lebih banyak dilakukan lewat media sosial. Bentuk intimidasi seperti itu menymbang efek berantai jangka panjang berupa rasa takut dan banyaknya perempuan yang menarik diri dari keterlibatannya secara politik, dalam hal ini memilih. Ini keberhasilan politisasi agama paling fantastis yang pernah terjadi di Indonesia.

Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, mengungkap keterlibatan Amerika Serikat (US) dalam kepelikkan usaha makar terhadap Peresiden Jokowi lewat dibangkitkannya gelombang umat yang dikondisikan marah, dan terlibatnya beberapa mantan jendral angkatan darat dalam upaya itu. Sebuah “perkawinan” sempurna untuk kepentingan perebutan kekuasaan dari pemimpin yang berusaha progresif, yang sangat mengganggu kepentingan para kapitalis raksasa dan kepentingan US atas seluruh investasi eksploitasi sumber daya alamnya di Indonesia, khususnya Freeport di Papua. Khusus soal Freeport, kalau saya tidak salah membaca, disebutkan ini ada kaitannya dengan tragedi 1965, ketika Presiden Sukarno dengan berani, menetapkan syarat pembagian yang dianggap merugikan US. Dan sssst.....jangan lupa pembunuhan Presiden US, John F. Kennedy, yang sepakat dengan argumentasi Sukarno soal Freeport saat itu.
Rupanya banyak kepentingan kapitalis yang sangat besar bermain-main dangan kekuasaan rakus di US saat itu. Maka dalam berbagai literatur diungkap skenario kup para jendral yang dijadikan momentum pemberontakan tahun 1965. Tragedi yang mengorbankan jutaan jiwa di seluruh Indonesia. Upaya perebutan kekuasaan demi penguasaan sumber daya alam Indonesia khususnya emas di Papua, sekaligus hegemoni, peletakkan cara pikir dan sikap anti komunis yang hanya akal-akalan. Ditanam dan ditancapkan dalam pikiran bangsa ini dan kelak kerap dipakai sebagai senjata oligarki melawan mereka yang bersikap dan bersuara soal ketidakadilan, kejahatan sistemik oleh negara, dan penindasan para fasis.
Terlepas kesalahan besar Allan Nairn pernah membocorkan identitas nara sumber pentingnya, sehingga reputasinya dipertanyakan. Apa yang disampaikan Allan Nairn, sudah didiskusikan dan ditulis belakangan ini sebagai kajian mengapa gerakan radikal bangkit dengan begitu masif dan garang. Diskusi dan peluncuran majalah Yayasan Bhinneka tahun 2016 di Komnas Perempuan juga pernah membahas hal ini jauh sebelum Allan Nairn merilis pernyataannya tersebut. Sungguh menjengkelkan ketika militer menyatakan akan menggugat Tirto.id yang menurunkan laporan terjemahan hasil investigasi Allan Nairn. Nampak seperti pihak yang paling tersinggung, yang diglorifikasi beberapa pihak dengan menyerang reputasi Allan Nairn. Bercampur jealousy kapitalis media mainstream besar? Entahlah….

Disebut-sebut pula, eskalasi sosial akibat politisasi agama ini direncanakan para petinggi militer, dalam hal ini, para mantan jendral yang diduga terlibat bisnis atau menjadi “centeng” para kapitalis. Sangat masuk akal. Sebagai perempuan asal Pulau Kalimantan, yang kaya aneka tambang dan hutan, sejak remaja saya tak asing mendengar gosip tambang ini atau perkebunan itu dibekingi militer.
Pada penangkapan menjelang aksi 212 tahun lalu, dalam daftar aparat penegak hukum, ada mantan jendral yang sangat kencang meneriakkan dan membangkitkan isu PKI. Di sini saya ajak pembaca sudi sedikit sibuk untuk menarik benang merah uraian saya di atas soal 1965 dan Freeport. Dugaan percobaan makar oleh mantan jendral ini tertuang dalam ujarannya yang dianggap provokatif. Ini bukan menuduh yang bersangkutan membekingi salah satu kapitalis. Ini adalah gambaran, bahwa ada saja pihak-pihak atau kelompok yang sangat berkaitan dengan militer Indonesia,berada dalam pusaran kepentingan negara asing yang sedang merampok kekayaan alam Indonesia; saat ini sedang terganggu kepentingannya, lalu dengan “cara yang ajaib” menunggangi isu agama untuk menyerang para pemimpin bangsa yang sedang berusaha mengembalikan kekayaan negeri ini untuk kemaslahatan rakyat dan memperbaiki sikap mental bangsa yang lama dijajah cara berpikir orde baru.

Kembali ke masalah kekerasan seksual sebagai senjata konflik politik. Seluruh ganbaran besar di atas, dan bangkitnya hantu orde baru lewat politisasi agama, akan menjadi model perebutan kekuasaan dalam berbagai kontestasi politik di masa yang akan datang. Termasuk di dalamnya provokasi penyerangan seksual pada para perempuan, khususnya perempuan yang menjadi simbol minoritas namun kuat dalam peran ekonomi, maupun para perempuan dalam gerakan sosial yang berlawan. Cara-cara yang kita lihat di pilkada DKI Jakarta yang lalu, hingga pemilihan presiden 2019, kuat dugaan saya, akan menjadi patokan bergerak kelompok manapun yang diperalat menjadi tanduk politik para kapitalis yang memiliki kepentingan merampok. Dalam hal ini termasuk para kapitalis rakus asing yang dilindungi oleh negaranya yang tentu ikut diuntungkan.

Akankah kita diam dan menjadi bagian yang hanya menonton? Bagi saya, hanya menonton adalah hal paling jahat yang akan menjadi gugatan anak cucu kita kelak. Sudah sumber alamnya dikuras tak bersisa, hutannya dibuat gundul, sampai warisan hukum-hukum yang akan memenjarakan hak asasi mereka.
Diamnya orang baik, adalah kontribusi besar kejahatan tetap berlangsung. Mulailah berpikir kritis, bersikap tegas terhadap penindasan, dan bergerak nyata melawan segala bentuk kekerasan yang sedang berlangsung ini. Utamanya, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lain.
Sebaik-baiknya dan semulia-mulianya perlawanan, adalah melawan penindasan oleh mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, dengan menggunakan politisasi Tuhan dan agama. Semilitan apapun rakyat membelanya, rakyat yang sama jugalah yang paling akan dikorbankan ketika chaos terjadi.
Ibu Pertiwi butuh lebih banyak pejuang untung mempertahankan negeri ini dari tangan para penindas. Mereka yang punya senjata dan punya massa. Mereka yang lahir dari rahim demokrasi pasca reformasi, tapi lalu menindas hak orang lain berdemokrasi. Bahkan tega menggunakan cara-cara terkutuk untuk meminggirkan yang melawannya. Cara yang bagi umat beragama justru diajarkan untuk dijauhi. Cara yang bukan memberi keberkahan pada semesta dan kebaikan pada sesama manusia.

Hentikan menggunakan kekerasan terhadap perempuan sebagai senjata konflik dan intimidasi dalam kontestasi politik. Mari sama-sama melawan!




Helga Worotitjan: Penyintas kekerasan berbasis gender, ibu tunggal dua remaja, tukang masak yang antusias, dan penyair yang malas mengetik di laptop.

No comments:

Post a Comment